Rabu, 09 September 2015

si cantik "Troides Helena" yang harus dilindungi

Berbicara kupu kupu, siapa sih yang gak terpikat dengan hewan satu ini.. semua mengakui keindahannya, terutama sayapnya yang berwarna warni dan berbeda dari setiap spesies.  Kupu-kupu adalah binatang yang biasa kita jumpai di sekitar kita, baik di perkotaan,di desa, dan di di dalam hutan. Kupu-kupu, bagi sebagian orang mungkin tidak terlalu diperhitungkan. Namun satwa ini memiliki peran penting dalam ekosistem yaitu sebagai pollinator atau penyerbuk sehingga alam ini lebih seimbang.   
 Karena keindahannya, beberapa jenis kupu-kupu yang eksotik (dari segi bentuk dan warna sayap) banyak dicari oleh kolektor untuk dijadikan insectarium (figura yang berisi spesimen serangga) sebagai hiasan dinding seperti di negara China, Jepang, Korea, dan lainnya. Hal ini tentu mengancam keberadaan kupu-kupu tersebut di alam, dan salah satu yang terancam adalah Kupu-kupu Raja (Troides helena).  Satwa ini dilindungi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, tercantum dalam Lampiran II CITES, dan status dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List (pada 2008 belum dimasukkan/data deficient). 
Troides helena digolongkann kedalam famili Papilionidae dan tersebar di wilayah Indomalaya/Austaralasia.Deskripsi pertama kali oleh Linnaeus  tahun 1758. Memiliki rentang sayap antara 13-17 cm. kupu-kupu ini unik karena hanya memiliki satu tanaman inang bagi makanan ulat yaitu sirih hutan (Aristolochia sp.). Pada saat menjadi kupu-kupu, antara individu jantan dan betina memiliki morfologi yang sedikit berbeda. Identifikasi yang paling mudah yitu pada individu jantan memiliki warna kuning pada sayap belakang (hind wings) yang lebih tebal atau pekat dengan noda (dot) hitam yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan individu kupu-kupu betina. Setelah kupu-kupu jantan dan betina melakukan perkawinan (matting) maka sang kupu-kupu Troides helena betina akan mencari tanaman sirih hutan atau Aristolochia ssp. untuk meletakkan telur.
gambar 1. Troides helena dewasa (Foto kiri) individu jantan, (Foto kanan) individu betina
Kupu-kupu raja Troides helena, merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia dan keberadaannya di Gunungkidul sangat terbatas. Kawasan Gunung api purba di Nglanggeran-Patuk, Gunungkidul merupakan salah satu habitatnya yang cukup aman. Kabupaten Gunungkidul terkenal dengan kawasan karst dan salah satu kawasan karst tropis yang memiliki  nilai-nilai geologi dan keanekaragaman hayati unik. Beberapa lokasi kecamatan di Gunungkidul memiliki kawasan karst yang berpotensi sebagai hidrologi dan fungsi ekologis dan sudah terdaftar dalam perencanaan tata ruang (Perda No.6 / 2011 Kabupaten Gunungkidul tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul). 
Mengapa kupu-kupu Troides helena merupakan satwa langka dan dilindungi??? hal ini dikarenakan keterkaitan dengan ketersediaan tanaman inang yaitu sirih hutan (Aristolochia spp.) yang tidak mendukung. Selain menjadi ini dari kupu-kupu Troides helena, tanaman ini juga menjadi inang bagi jenis kupu-kupu lainnya khususnya dari familia Papilionidae lainnya, salah satunya adalah Pachliopta aristolochiae. Jika tanaman sirih hutan sudah terdapat telur dari kedua jenis ini maka ulat-ulatnya akan memakan habis seluruh daun, bahkan juga memakan batangnya sehingga menyebabkan tanaman ini mati sebelum sempat berbuah ataupun regenerasi bagian lainnya. Di indonesia sendiri ada dua jenis sirih hutan yaitu Aristolochia faveolata dan Aristolochia tegala. Selain itu, penangkapan besar-besaran untuk dibuat sebagai awetan insectarium juga turut memperparah penurunan populasi dari kupu-kupu Troides helena.
gambar 2. (foto kiri) telur diletakkan pada pohon inang Aristolochia ssp., (foto kanan) insert telur
Untuk itu, upaya nyata bagi penyelamatan kupu-kupu raja selain perlindungan habitat dan pengembangbiakan secara alami adalah mendorong Pemerintah agar lebih memperhatikan kawasan-kawasan karst, terutama habitat Troides Helena dan Aristolochia sp di kawasan Gunungapi purba Nglanggeran sebagai lokasi ekowisata sekaligus lokasi penyelamatan habitat Troides helena dan Aristolochia sp. Penyadartahuan kepada masyarakat luas terhadap keberadaan kupu-kupu dan pakan alam tersebut agar mendorong kepedulian masyarakat untuk ikut melindungi sebagai upaya penyelamatan bersama agar tidak punah di kemudian hari.


daftar pustaka :
http://www.biodiversitywarriors.org/kupu-kupu-raja-troides-helena-2.html


Selasa, 01 September 2015

Seberapa pentingkah DNA mitokondria (mtDNA) dalam Ekologi Molekuler???

saat mempelajari ekologi molekuler.. khususnya pada bab "molecular identification : spesies, individuals, and sex" banyak ditemukan kalimat bahwa a battery of molecular genetic markers including mtDNA. Maka timbul pertanyaan apa sih mtDNA? seberapa besar pengaruh mtDNA dalam studi ekologi molekuler?? yuk.. mari kita bahas ^.^

mtDNA????
DNA Mitokondria (disingkat mtDNA) adalah materi genetik DNA yang terdapat di dalam mitokondria. DNA mitokondria berbentuk sirkuler berutas ganda. Setiap mtDNA memberi kode untuk terbentuknya 2 RNA ribosom, 22 RNA transfer dan 13 polipeptida (beberapa belum diketahui fungsinya). Posisi pada mtDNA telah terpetakan, yang terdiri dari daerah 12SrRNA, 16SrRNA, ND1, ND2, CO I, CO II, ATP, CO III, ND3, ND4, ND5, ND6, Cyt b dan D-loop (displacement loop) yang terkait dalam proses replikasi (Brown et al. 1979). Posisi yang berbeda dari masing-masing gen-gen mitokondria tersebut ternyata memiliki laju evolusi dengan kecepatan yang berbeda pula, yaitu ada yang bersifat relatif konserve (laju perubahannya kecil) seperti 16S rRNA dan 12S rRNA, lajunya sedang (cytokrom b) dan lajunya cepat (CO I & D-Loop).

Daerah D-loop atau dikenal juga dengan nama ”daerah kontrol” (control region) yaitu tempat yang mengatur replikasi dan transkripsi mtDNA yaitu awal dari replikasi rantai berat (Ho) (Foran et al. 1988). Daerah ini telah dibuktikan merupakan bagian yang paling bervariasi pada genom mitokondria. Laju mutasi pada daerah ini diperkirakan lima kali lebih cepat dibandingkan dengan bagian lain pada genom mitokondria ((Douzery & Randi 1997). Mamalia mempunyai DLoop terletak antara tRNAPRO dan tRNA Phe (Foran et al. 1988).


Daerah ini terdiri dari 3 bagian yaitu : 
a) bagian kanan D-Loop (region I) yang mengandung Promotor Rantai Berat (HSP) dan Promotor Rantai Ringan. Pada bagian ini juga terdapat daerah Sekuen Conserve Bloks (CSB 1-3) serta repeat tandem; 
b) bagian tengah yang merupakan Daerah Central Conserve (CCR) berfungsi pada pengaturan dari replikasi (Saccone et al. 1991). Diluar CCR masih pada bagian tengah ini terdapat tiga Conserve Sekuen Bloks (CSB 1-3) pada ujung tiga dari rantai ringan yang berlokasi antara promotor rantai ringan (L- Strand) dan rantai berat (H-strand). CSB ini diasosiasikan sebagai inisiasi dari replikasi rantai berat.; 
c) bagian kiri D-Loop yang terdiri dari daerah termination associated sequence (TAS) dan bagian lain berupa beberapa dari daerah repeat tendem yang terletak dekat dengan tRnaPro (Saconne et al. 1991). 
Panjang fragment sekuensi yang terkecil berukuran 20 bp (Cunningham & Meghen 2001). Analisis pada daerah CR (D-loop) digunakan untuk melihat keragaman antar su oxsidase (CO I) merupakan enzim mitokondria, terdiri atas Cytoch bspecies ataupun antar populasi (Brown 1985). Daerah yang mengandung D-Loop ini diketahui amat cepat berkembang dari bagian mtDNA lainnya. Hal ini karena terjadinya akumulasi subtitusi basa, proses insersi dan delesi yang lajunya amat cepat bila dibandingkan dengan DNA inti (Foran et al. 1988).
Pada manusia diketahui laju subtitusi daerah tersebut kira-kira 2,8 – 5 kali lebih tinggi dari pada laju daerah genom Mt lainnya (Taylor et al. 2001). D-loop cocok digunakan untuk mendeteksi perbedaan sekuen nukleotida pada hewan vertebrata (Aquadro & Greenberg 1982). Analisis mtDNA pada D-loop juga telah digunakan untuk menduga keragaman genetik dan struktur populasi pada hewan avertebrata (Brown et al.1988).

mtDNA dalam studi ekologi molekuler??

Analisis DNA mitokondria telah digunakan secara luas dalam mempelajari evolusi, struktur populasi, aliran gen, hibridisasi, biogeografi dan filogeni suatu spesies hewan (Moritz et al. 1987).  Beberapa peneliti telah menggunakan genom mtDNA untuk analisis keragaman antar spesies maupun intra spesies terutama pada daerah non coding (CR) yaitu daerah yang mengandung D-loop. Diantara peneliti tersebut adalah Morales et al. (1994) Morales et al. (1997), Xu et al. (1996), Fernando et al. (2006), O'Ryan et al. (1993). Penanda ini telah menunjukkan kemampuannya dalam membedakan keragaman antar spesies maupun intra spesies.
Di samping itu, hal yang mendukung penggunaan mtDNA sebagai penanda genetik salah satunya adalah karena mtDNA terdapat dalam copy yang tinggi, sehingga memudahkan dalam pengisolasian dan purifikasi untuk berbagai keperluan analisa genomnya (Duryadi 1994). Selain itu, laju evolusinya tinggi (yaitu 10x lebih cepat dibandingkan pada DNA inti), diturunkan secara maternal (maternal inheritance) dan mempunyai jumlah copy tinggi. Basa-basa dari gen mitokondria ini dapat di buat copynya dalam jumlah besar dengan mengamplifikasinya melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). 
Sekitar 99% dari material genetik organisme eukariot terdapat dalam inti dan sisanya 1% terdapat di dalam mitokondria. DNA mitokondria mengandung sejumlah gen penting untuk respirasi dan fungsi lainnya. Secara fisik mtDNA ini terpisah dari DNA lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk mengisolasinya (berukuran relatif kecil yaitu hanya 16.000-20.000 pasang basa) dibandingkan jika harus mengisolasi milyaran nukleotida dari genom inti (Wallace 1982).


daftar pustaka :
Aquardo CF, Greenberg BD. 1982. Human mitochondrial DNA variation and evolution: analysis of nucleotide sequences from seven individuals. J Genetics. 103: 287-312.

Brown WM, Hixson JE, Foran RD. 1988. Comparisons of ape and human sequences that regulate mitochondrial DNA transcription and D-loop DNA synthesis.J Nucleic Acids Research.18(3):1-20.

Fernando P, Polet G, Foead N, Linda. 2006. Genetic diversity, phylogeny and conservation of the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus). Journal Conservation Genetik. 7: 439-448.
Foran DR, Hixson JE, BrownWM. 1988. Comparisons of ape and human sequences that regulate mitochondrial DNA transcription and D-loop DNA synthesis. J Nucleic Acids. 16: 13-19.

Morales JC, Andau, Supriatna, Zainuddin, Melnick DJ. 1997. Mitochondrial DNA Variability and Conservation Genetics of the Sumatran Rhinoceros. J Conservation Biology. 11: 539-543. 

Moritz C, Dowling TE, Brown WM. 1987: Evolution of animal mitochondrial DNA relevance for population biology and systematics. Ann Rev Ecol Syst . 18: 269-291.

Taylor RW, Taylor GA, Durham SE, Turnbull DM. 2001. the termination of complete human mitochondrial DNA sequences in single cells: implications for the study of somatic mitochondrial DNA point mutations. J Nucleic Acids. 29: 21-31.

Wallace. 1982. Structure and Evolution of Organelle Genomes. J Mikrobiologi. 46(2):208-240 .